Guru Agama Kapela : Yeremias Selan
Jumlah KUB : 1
Ketua Dewan Kapela : ……..
Jumlah umat : 19 KK/ 58 jiwa
Tuakole terletak di lembah. Di sekelilingnya dibatasi bukit-bukit. Sehingga kalau masuk ke daerah ini rasanya seperti dalam belanga. Pada musim panas udaranya sangat panas. Orang luar yang masuk ke daerah kering-kerontong ini merasa diri seperti digoreng dalam kuali. Lembah yang penduduknya kebanyakan orang rote ini, dihiasi oleh pohon-pohon lontar yang bertumbuh subur. Rupanya pohon penghasil nira manis itulah yang menarik pendatang-pendatang. Di sini orang asli Timor hidup tercampur dengan pendatang-pendatang dari luar, yang sebagian besarnya asal Rote.
Agama katolik mulai dikenal sejak tahun 1963, melalui orang-orang katolik yang berpindah dari tempat lain ke sini. Orang Rote yang pertama-tama berkontak dengan agama katolik ialah Niko Lapudoo, Magdalena Manafe dan Theresia Lapudoo. Ibu Magdalena Manafe sakit epilepsi. Karena penyakitnya sering kambuh lagi, maka pada suatu hari ibu Magdalena meminta obat pada pastor katolik SoE. Entah apa yang menggugah hati sehingga pada suatu hari mengundang Salomon Kefi datang mengunjungi mereka. Tanggal 27-7-1964 guru agama asal kapela Fatumetan ini datang berdoa bersama mereka. Kunjungan itu menjerat perhatian banyak orang, yang curiga “bahaya agama katolik”. Dalam arsip tua gereja katolik SoE, tersimpan surat dari Lazarus Lenama yang melukiskan suasana kampung Tuakole waktu itu, demikian :
“Ketika guru agama Salomon Kefi kembali, datanglah utusan Injil, Bernadus Mooi dan Anus Pelokila mencari guru agama dengan maksud mengancam bahwa kalau guru agama katolik ataupun pastor datang ke Tuakole, maka kepala mereka akan di lain tempat dan badan mereka di lain tempat. Tanggal 29-7-1964 mereka datang lagi ke rumah sambil mengata-ngatai gereja katolik. Katanya gereja RK itu menyembah berhala (kayu dan batu) di dalam mereka punya gereja. Pada tanggal 1-8-1964 juga, mereka datang di rumah dan bilang: Kalau kamu turut gereja RK harus kamu lari ke luar dari kampung ini dan pergi ke negeri yang kamu turut gerejanya, supaya jengan merugikan gereja protestan kalau kami mati.
Jadi, dengan ini kami minta supaya bapa pastor sudi mengambil perhatian akan rencana mereka, karena berkemas menantikan bapa pastor untuk dimatikan dengan guru agama dan dengan kami lima orang Tuakole.”
Salomon Kefi bersama seorang tua, Kornelis Isa, datang lagi ke Tuakole pada 12-8-1964. Utusan Petrus Mooi yang sudah lama mengintai-intai, menahan keduanya. Hari itu hari Minggu. Kelima calon tunggu-tunggu, tapi guru agama tidak kunjung datang. Mereka tidak tahu bahwa hingga tengah hari guru agama dijemur di panas terik matahari. Petrus yang utusan itu menulis surat kepada Polisi SoE dan kepada pendeta. Isi suratnya ialah bahwa Salomon Kefi dan Kornelis merupakan pengacau agama di Tuakole. Lalu Salomon disuruh mengantar surat itu. Salomon membangkang, tidak mau. Terjadi pertengkaran. Akhirnya Petrus Mooi mengusulkan supaya guru agama menandatangani surat itu. Tapi itupun ditentang guru agama. Berikut cuplikan dialog :
“Bapa, saya tidak tahu menulis. Titik saya tidak kenal, koma saya tidak kenal. Titik itu di atas huruf atau di bawah huruf, saya tidak tahu. Lebih baik bapa bawa sendiri surat itu ke SoE.”
Saking marahnya, maka sang utusan mulai meradang dan berbicara dengan nada-nada kasar:
“Kau lawan kami? Kau pencuri! Perampas rakyat! Kau masuk kampung tanpa surat, tanpa minta izin dari kami kepala kampong.”
Salomon menjawab:
“Dalam Kitab Suci tidak dituliskan bahwa orang yang mewartakan Sabda Allah harus membawa surat atau harus minta izin. Apa lagi umat serani Tuakole minta saya datang.”
Utusan tetap keras pada pendiriannya, bahwa guru agama dan K. Isa harus membawa surat kepada pendeta.
Guru agama juga lihai. Ada dalih lain. Katanya:
“Kalau bapa menuntut saya harus membawa surat kepada pendeta, saya juga mau buat surat. Silahkan bapa membawanya kepada pastor.
Orang-orang Rote yang tadi-tadinya hanya diam, menonton, mulai juga campur mulut:
“Lihat, orang ini menentang kita. Tadi disuruh tanda tangan, bilangnya tidak tahu tulis. Sekarang mau buat surat, dan suruh bawa ke SoE. Lebih baik usir mereka kembali.”
Pertemuan yang tidak ekumenis antar dua pemimpin agama itu terpaksa stop. Matahari sudah tinggi. Panasnya bukan main. Rasanya seperti jemur kopra. Dengan perut keroncong kedua pembela agama kembali ke rumah K. Isa. Siang itu hanya minum tuak manis.
Keesokan mereka ke SoE untuk menghadap polisi. Polisi menulis surat panggilan kepada utusan dan Temukung. Utusan datang. Polisi menutup laporan utusan tentang kejadiaan itu dengan satu penegasan bahwa beragama itu bebas, tidak ada batas. Orang boleh berpindah agama. Utusan diam. Sejenenak berkata “Ya, pak, ya, pak,” keluar dari mulutnya.
“Kamu dua sekarang pegang tangan sebagai tanda perdamaian. Tuhan Allah satu. Sekian!” nasihat akhir polisi.