“Album lama untuk kenangan hari Minggu panggilan sedunia 3 Mei 2020”
Lama ia tak bisa memejamkan mata. Sebentar bangun sebentar berbaring lagi. Tak tahu entah sudah berapa kali ia harus bangun dan tidur. Hanya mata saja yang belum mengijinkan ia untuk sungguh-sungguh lelap. Yah…memang demikian perasaan Andika ketika sekian bulan berpastoral bersama orang-orang Muda. Pengalaman panjang masa TOP, juga termasuk sekian tahun sebelumnya menjadi anggota OMK sampai akhirnya memutuskan untuk masuk seminari, ternyata itu belum cukup membuatnya matang menghadapi para orang muda. Terlebih lagi dengan para gadis. Jadinya, malam itu menjadi malam paling berkemelut untuk memutuskan entah mengatakan atau tidak mengatakan rasa yang telah ia pendam atas Nowela, mahasiswi semester akhir Fakultas Kesehatan. Rasa itu tidak pernah salah. Mungkin itu hanya akibat dari perjumpaan yang terus menerus di acara latihan koor, pertemuan biasa, atau bahkan sharing Kitab Suci.
Entah kenapa, kisah si Rahul dalam film The Conselor, India, menjadi sangat mengganggunya. Rita, seorang kliennya yang sedang bergulat dengan pengalaman gagal cinta bersama para pria dalam film tersebut menjadi baginya semacam sebuah pengalaman pembanding.
“Andaikata aku jadi Rahul, akan kunikahi Rita yang cantik ini,”
Demikian ia mengandai-andai setiap kali menonton adegan itu. Memang demikianlah manusia. Kadang perasaan cinta yang menggejolak tidak pernah peduli atas komitmen yang telah lama dibangun untuk tidak menikah demi Dia yang namanya Kristus. Rasa itu kadang menggelora begitu kuatnya. Tak bedanya dengan desakan lahar gunung berapi yang mau meledak tetapi tak ada jalan untuk semudah itu ia mengalir. Itulah. Jubah putih telah menyucikan komitmennya, setidaknya membuat ia tak segampang mengatakan perasaannya. Cintanya yang suci telah membalut komitmennya lebih tangguh dari sekadar rasa cinta tubuh, sehingga setiap gelora kerinduan untuk memiliki dapat dijinakkan dengan sikap berkorban, entah lewat membantu menyelesaikan tugas, entah lewat kirim-kiriman pulsa, dan terutama lewat doa yang selalu berkanjang. Meski ia menderita dalam daging, ia bahagia dalam roh karena dengan itu ia terbebas dari belenggu rasa terhadap seorang wanita, yang ia pandang pantas untuk dicintai tetapi dengan rasa cinta yang telah ditaburi roh yang berkurban.
Jadinya, Nowela si gadis dari Fakultas Kesehatan seolah-olah adalah Rita dalam The Counselor yang memang diam-diam diingini Rahul, tetapi terpaksa rasa itu dipendam atas nama profesinya sebagai seorang konselor.
“Yah, tak bisa tidak, aku ini frater, aku tidak bisa mengatakan perasaan segampang itu kepada Nowela,”
Demikian si frater muda ini berjuang menghadapi kecamuknya rasa. Ia akhirnya hanya bisa diam, menahan perasaan yang demikian menggelora, lalu menekannya dalam kerinduan yang tak kesampaian. Ia tahu bahwa Nowela juga punya ‘rasa’ untuknya. Itu memang tampak dari perilaku Nowela. Dari matanya yang kadang-kadang mencuri perhatian. Terlebih lagi dari getaran sukma tatkala mereka saling beradu pandang.
“Rasanya lain sekali”, demikian sesekali ia bergumam dalam hati.
Handphone genggamnya sesekali ia buka. Berulang kali ia mengutak atik mengetik pesan-pesan singkat. Biar hanya menyampaikan rasa cintanya, persetan kalau Nowela tak peduli dengan arti kata-kata itu. Tetapi akhirnya tetap sama. Kata-kata cinta tetaplah ia hapus sebelum terlanjur dikirim. Memang ia merasa bersalah kalau seandainya sahabat OMK lainnya tahu. Masalahnya bukan pada gosip yang mungkin akan muncul. Soalnya adalah bagaimana ia dapat menjaga statusnya sebagai seorang biarawan. Dua bulan kemarin ia baru berjanji dalam kaul untuk hidup murni, miskin dan taat. Sepanjang itu malah ia bergelut dengan perasaan yang begitu kuat tuk ingin “lari” dengan Nowela.
Lelah memikirkan si Nowela akhrinya membawanya pada rasa kantuk yang tak tertahankan. Ia pun tertidur pulas dengan kepala tersandar pada dinding di samping meja belajar. Pagi-pagi buta ia sudah berlutut di hadapan Sakramen Mahakudus dengan bibir yang tak lelahnya mendaraskan syair-syair mazmur. Ia berharap secuil jawaban bisa datang dari pada-Nya karena sore ini ia harus mengadakan lagi latihan koor. Itu artinya ia harus berjumpa lagi dengan si jelita, yang selama ini diam-diam dikagumi tetapi sekaligus adalah sumber ‘masalah’.
Kini surya sudah bertengger pada pundak bukit kecil di ufuk barat, menunggu sebentar hanya untuk menyampaikan salam pisah pada petang. Kendaraan bergelimangan di jalan raya karena orang-orang pada pulang kantor dan mungkin juga pulang sekolah dan kuliah sore. Motor Jupiter kecil melaju pasti menuju tempat latihan. Di sana orang sudah pada menunggu. Andika pun turun dengan langkah pasti melewati kerumunan OMK. Sesekali ia membalas ucapan selamat datang atas dirinya. Seperti biasa ia membuka latihan dengan doa singkat sebelum membagikan teks koor kepada anggota yang hadir. Dan…ia amat terkejut. Nowela justru tidak hadir sore itu. Meski latihan berjalan seperti biasa, perasaan Andika tetap tak tenang. Biasanya ia gagal fokus tiap kali ada Nowela yang menebar cantiknya di suara sopran. Kali ini ia malah terganggu karena si idamannya tidak hadir. Dalam diam ia mencoba menebak, “apa mungkin ia sakit? atau jangan-jangan ia mendapat kecelakaan di jalan! Mengapa ia tak sama sekali memberi kabar tentang ketidakhadirannya, setidaknya kepada sahabatnya yang paling dekat!” Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti terlontar dalam pikirannya meski tanpa ada jawaban yang pasti. Memang ini bukan soal pentingnya suara manis dari sopran. Ini soal rasa kangen atas absennya seorang idaman.
Kini tiba waktunya mengevaluasi koor yang telah lama dilatih karena esok harinya mereka sudah harus tampil di gereja. Ia diam-diam memasang kuping karena ada yang berceloteh soal absennya Nowela. Ada yang kesal karena ia absen persis pada hari terakhir latihan. Yang lain membela karena mungkin ia ada halangan yang sangat mendesak. Sementara yang lain lagi memaklumi karena memang tahu alasannya. Dan…Andika begitu terkejut. Yah, Nowela absen karena ada acara ‘masuk minta’. Dalam kekalutan rasa ia mencoba menahannya dalam diam. Daya hidupnya seakan pupus dalam satu kedipan mata hanya karena soal kata ‘masuk minta’. Ternyata Nowela sudah ada yang punya. Sesekali ia mengangkat mata, menatap kosong langit-langit rumah. Bisingnya bunyi kendaraan hampir tak bisa didengar. Juga dering musik dari tetangga kost tak sedikit pun mengganggunya. Ia hanyut dalam pikirannya sendiri, dalam campur aduknya rasa yang tak menentu. Yah…kecewa… tetapi sekaligus bersyukur. Besyukur atas rasa cinta yang tak terlanjur ia ucapkan. Juga atas sms yang tak sempat terkirim.
Akhinya latihan koor pun selesai. Jupiter itu kembali melaju cepat di jalan yang sudah sepi. Ia pulang sendirian, hanyut dalam lamunan yang menerawang. Hanya gelap yang setia menemaninya sepanjang jalan bersama sepoi malam yang diam-diam turut menyimpan rahasia serta terlibat dalam rasa ibah atas kegalauan sang ‘musafir’. Dan Andika. Pikirannya menerawang jauh, terpaut pada wajah cantik yang hanya mampu dikagumi dan tak boleh dimiliki. Sepanjang itu ia hanya berpikir dan bersyukur. Memang Tuhan menjawab masalahnya dengan cara yang unik. Ia begitu bijaksana. Ia menghadirkan orang ketiga biar tidak ada tempat baginya di hati Nowela. Ternyata memendam rasa itu indah. Juga tak membiarkan orang segampang itu tahu tentang perasaan kita, itu pun indah.
“Selamat menempuh hidup Baru Nowela. Semoga engkau bahagia bersama dia, dan aku tetap menjadi seperti aku adanya. Tuhan itu adil. Ia telah menetapkan engkau menjadi miliknya, dan aku milik Dia. Sekarang aku mengerti apa artinya cinta. Merelakan engkau bersama dia adalah cara lainku tuk mencintaimu. Mungkin ini cara Tuhan menjawab doaku agar tetap kuat dalam panggilan hidup membiara….”
“Tetapi…si Rahul dalam The Konselor memang terlalu!”
Tiba-tiba Andika memprotes.
“Bagaimana bisa ia menolak cinta yang datang pada dirinya hanya demi menjaga kepercayaan orang lain? Padahal ia bukan seorang frater!”

Gusty Weruin, CMF