Matahari bersembunyi di balik awan. Tidak tersenyum. Awan gelap menutupi langit. Guntur gemuruh memadahkan pujian memuji Sang Cipta. Desir angin timur berhembus pelan, berteman pada rintik hujan yang mulai menceritakan duka nestapa. Tanpa tapak kami. Aku dan Dhevy terus berjalan tanpa henti. Menikmati berkat Tuhan lewat rintik hujan yang menambah kemesraan kami.
“Ka cepat sedikit, su mau hujan ni,” bisiknya di telingaku. Manja.
“Iy Nona. Ko ini su mau sampe ju,” balasku sambil terus fokus pada jalan.
Selang beberapa menit kemudian kami tiba di rumah. Dhevy lebih dahulu menuju pintu rumah sedangkan aku masih memarkirkan motor di sudut rumah lalu mengikutinya. Tok… tok…. tok… pintu diketuk.
“ Selamat siang Ma,” ucap Dhevy sambil terus mengetok pintu.
“ Mama ada pi kebun. Tadi pagi sebelum sa jalan Mama ada kastau bilang ini hari mo tanam jagung.” Kataku padanya sambil mendekat dan membuka pintu.
“Mama dengan sapa yang pi tanam?” tanyanya padaku sembari melangkah masuk mengikuti aku.
“Sendiri sha. Ko in hari katong sekolah na.” jawabku.
“Ohhh… na katong istirahat sedikit do bar iko Mama di kebun” katanya sembari membaringkan diri di sofa.
“Iy siap. Sa ganti pakaian dolo ew.” Jawabku dan langsung masuk ke kamar untuk mengganti pakaian lalu keluar lagi dan duduk bercerita dengannya.
Aku adalah anak petani. Ayahku meninggal ketika aku masih duduk di bangku kelas 6 SD, setelah itu Ibu terus bertani untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Musim penghujan seperti sekarang semua petani sibuk bekerja di kebun, termasuk aku dan Ibu. Apalagi sekarang sudah Desember, jadi kami harus menanam jagung dan makanan pokok lainnya agar tidak dibilang “berharap pada negara”. Hasil kebun selalu mencukupi kebutuhan kami. Aku bangga terlahir dari kelurga petani. Yahhh.. sebab Ayah dan Ibuku bukan orang yang “gelap mata ketika melihat uang Negara.”
***
Tok.. tok.. tok… pintu diketuk dari luar. Dhevy langsung berjalan menuju pintu.
“Kris….. buka pintu.” Suara ibu. “ Ade…. buka pintu” teriak Ibu sekali lagi.
“Selamat siang Ma. Jang marah, sa lama buka pintu.” Kata Dhevy sembari menerima barang bawaan dari Kebun.
“Eww.. Nona. Shu datang dar tadi? Te Kriss di mana?” tanya Ibu sambil melangkah masuk.
“Iy Ma. Ada duduk main HP di dalam.” Jawab Dhevy lali menuju dapur untuk menyimpan sayur yang dibawah Ibu dari kebun.
Ibu langsung membersihkan badan lalu kembali lagi dan bercerita dengan Dhevy. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai tertawa terbahak-bahak, membuat telinga sakit walaupun sedang hujan. “Mungkin mereka sedang bahas Politik di Tanah Air ini yang kian hari kian sengit permainannya,” kataku dalam hati. Hujan siang itu terus mengguyur, menceritakan duka nestapa tanpa tapak kaki. Kami semua tertidur, sibuk merajut angan yang datang bersama dinginnya suasana. Hening.
Hujan baru berhenti sekitar pukul empat sore. Dhevy sudah bangun, dia tidur di kamar tamu. Walaupun hubungan kami sudah diketahui oleh orangtua, kami tetap menjaga tata krama jika saling kunjung agar tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan kami pada masa pendidikan. Yahhh… walau terkadang kami saling bercumbu, mencium pipi dan hidung atau mungkin sesekali berciuaman bibir, namun hanya pada batas yang wajar.
Dhevy membangunkan aku. Padahal aku sedang asyik-asyiknya bermimpi.
“Ka, bangun sudah. Su sore ini,” katanya sambil membelai rambutku.
“Hmmmm, iya” jawabku sambil bangkit dari tidur dan duduk di sampingnya.
“Ini, minum kopi dolo. Sambil katong bacerita,” Dhevy menyodorkan segelas kopi padaku.
“Makasih Nona, Mama masih tidur ko?” jawabku dan langsung meminum kopi yang ia berikan. Rasanya ada yang kurang, oyaa rokok. Aku mengambil rokok lalu membakar sebatang.
“Ka, nanti tamat SMA ni, Ka mo lanjut kuliah di mana? Ato mo langsung cari kerja sha?” tanyanya seketika yang langsung membuyarkan lamunanku saat menatap keluar jendela.
“Tau le ni. Lihat sha kalo mamtua masih bisa berarti b lanjut kuliah kal snd na langsung cari kerja sha,” jawabku singkat.
“Be ju sama. Ma be usahakan ko bisa dapat beasiswa supaya lanjut kuliah. Be rencana mo kuliah ame program Matematika sha,” Katanya.
“Na usahakan baik-baik to Sayang. Kalo ada niat pasti ada jalan,” balasku padanya sambil menyuruput kopi dan terus merokok.
“Itu shu…. Oiya ka nanti habis ini…..” Dhevy berhenti bicara. Dring…… driiiinngggg…… telpon masuk.
Dhevy mengangkat telpon dan berbicara. Ternyata yang menelpon adalah Fr. TOP, Koordinatur OMK (Orang Muda Katolik) di Paroki kami. Aku dan Dhevy termasuk anggota OMK Paroki St. Vinsensius A Paulo Benlutu, selain itu kami berdua juga termasuk anggota THS-THM (Tunggal Hati Seminari-Tunggal Hati Maria) yang aktif. OMK dan THS-THM adalah sutu Organisasi kaum muda yang belindung di bawah naungan Gereja Katolik dan hanya diikuti oleh para Pemuda Katolik. OMK dan THS-THM juga merupakan suatu wadah untuk membentuk Iman, mental, dan persaudaraan kami, kaum muda Katolik agar menjadi kaum muda Katolik yang 100 persen Katolik.
“Fr. TOP bilang apa?” tanyaku ketika ia selesai bicara dengan Fr. TOP.
“Fr bilang malam katong ada latihan kor di emper Paroki, untuk persiapan tanggal 25 Desember katong yang kor,” jawab Dhevy.
“Ohh… latihan jam berapa? Tanyaku sambil terus menikmati kopi dan rokok yang hampir habis
“Jam 6.30 mulai latihan,” jawabnya
“Kalo begitu na katong mandi su, supaya sedikit lai katong jalan su sekalian singgah iko rumah ko lu tukar baju,” kataku. Kami berdua langsung mandi. Eitssss… tapi pisah kamar mandi ewww.
OMK di Paroki kami memang sangat semangat. Namun sayang, banyak anak muda yang tak terlalu suka untuk mengikuti OMK. Tapi aku bangga, karena walau banyak anak muda yang tak mengikuti kegiatan OMKnya seperti mencari dana, rapat, dan lainnya, tapi jika sudah berkaitan dengan doa dan Gereja mereka selalu hadir. Paroki St. Vinsensius A Paulo Benlutu berada di Desa Benlutu, Kab. TTS, Prov. NTT. Jauh dari keramaian Kota, penuh ketenangan dan indah. Berdiri Sejak 25 Februari 2002.
Setelah kami selesai bersiap, kami langsung pamit pada Ibu sekalian aku meminta uang untuk membeli Rokok, dan langusng berangkat ke Paroki untuk latihan kor. Tapi sebelum itu kami akan singgah ke rumah Dhevy agar dia mengganti baju.
Dalam perjalanan kami tak banyak bercerita karena dingin. Dhevy hanya memelukku erat. Hening. Langit masih begitu perawan ketika senja memaksa melukiskan warna pada tubuhnya. Namun langit tidak pernah sedikitpun menolak, sebab ia tahu sudah seharusnya dan memang sudah hukumnya seperti itu. Angin timur bersiul lembut menggoda setiap sudut dunia. Senja hampir menutup usia kala aku dan Dhevy masih merajut kasih dalam perjalanan. Siulan angin menemani perjalanan kami. Sejenak kami terdiam tanpa kata, membiarkan malam yang hampir manyapa. Sepasang kekasih berjalan dalam remangnya malam. Begitu mesra kami dalam perjalan sampai tak sadar sudah tibah di rumah Dhevy.
Dia langsung masuk untuk mengganti pakaian lalu kami pamit dan lanjut menuju Paroki yang hanya berjarak sekitar 300 Meter dari rumah Dhevy.
“Su ada yang sampai ko belum eww?” tanyanya ketika kami menuju kapela.
“Pasti su ada ang. Ko ini tinggal lima menit stengah tujuh,” jawabku. Kembali hening.
Tak lama kemudian kami tiba di Paroki dan langsung menghampiri beberapa orang teman yang sudah hadir lebih awal.
“Selamat malam semua, maaf katong terlambat,” aku dan Dhevy menyapa secara bersama
“Iy selamat malam. Son apa-apa, Fr. TOP ju belum datang. Masih ikut Ibadat Sore di Biara,” jawab Vany, salah satu anggota yang paling semangat kalau berkaitan dengan kor. Kami bercerita sambil menunggu Fr. TOP yang masih mengikuti Ibadat sore di Biara.
Bersambung…….
Tinggalkan Komentar post