Sejarah Paroki Benlutu

25

Sekilas Ulasan Pertumbuhan Iman Katolik
Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Khususnya Paroki SoE hingga Paroki Benlutu dan Stasi/ Kapela Menurut Tulisan dan Catatan Sejarah
Diedit ulang oleh RD. Hillers penga (medio november 2017)
UMAT ALLAH PAROKI SOE
1953 – 1978
Oleh P.V. Lechovic, SVD – P. Stefanus Mite, SVD 1978
PERCETAKAN ARNOLDUS ENDE – FLORES


KATA PENGANTAR

Buku ini berisi kisah-kisah tentang Paroki SoE, salah satu wilayah gerejani dalam Keuskupan Kupang, Timor. Berhubung dengan HUT ke-XXV berdirinya paroki SoE. “Maka teringatlah aku akan masa lampau, aku mengenangkan segala karya-Mu dan merenungkan perbuatan tanganMu”. Mazmur 142 : 5. Itulah thema yang selalu berulang, yang menjadi bahan permenungan saluruh umat paroki dalam merefleksi setiap langkah kehidupannya selama kurun waktu dua puluh lima tahun.

Disadari bahwa Tuhanlah yang mengerjakan segala-galanya, walaupun kisah-kisah dalam buku ini manyajikan atau manampilkan segelintir tokoh orang tua tertentu atau pastor-pastor atau pemuda- pemudi atau tokoh lain lagi di pinggiran dan tikungan-tikungan jalan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan agama katolik. Tuhan memakai mereka sebagai alat untuk malaksanakan rencana ilahi serta membimbing kawanan umat Allah di jalanan berbatu-batu lagi beronak duri.

“kami tidak mau menyembunyikannya kepada anak – cucu mereka, kami meneruskannya kepada angkatan yang berikut. Yaitu karya-karya Tuhan yang agung dan kemegahanNya, perbuatan dahsyat yang dikerjakanNya”. (Mazmur 77 : 4)….“ supaya angkatan berikut dan keturunannya menceritakannya lagi kepada anak-anak mereka”. (Mazmur 77 : 6).

Rasa haru dan prihatin kadang-kadang menyelinap dalam hati, kalau menjejaki kembali pengalaman-pengalaman warga gereja di wilayah SoE di kala mulai bertunas dan berkembang iman sekecil biji sesawi. Sejarah paroki SoE dapat digolongkan sebagai suatu martyrologium –  kisah saksi iman – sebab penuh kepahitan, derita, ancaman dan gangguan yang sering dialami oleh umat Allah. Saksi-saksi iman ini kadang-kadang belum sungguh-sungguh memahami ajaran agama katolik, tetapi telah berani menderita demi agamanya. Dalam peribahasa dawan yakni :

“Bi koa fuf suti ntatok kaenle tunan
In antoko nkae am nameu nub
Ai fun namnau nan tebes afi unu”

Artinya:
“Burung Koa berkepala botak
Duduk menangis di atas gala-gala
Bila mengenang kurun waktu yang telah berlalu”

“sedu sedan burung Koa” symbol keprihatinan yang semakin mendekap setiap hati bila mengingat ulah warga lokal yang tidak selalu bersikap seperti pahlawan yang gagah perkasa. Kadang-kadang pahlawan-pahlawan ini tampil di pentas dengan semangat heroisme yang membara, tapi di belakang tabir mereka memiliki kelemahan, dosa dan kekonyolan manusiawi yang mewarnai sebagian besar pengalaman hidupnya, bahkan kadang-kadang tragis kalau dipandang melalui bola mata manusiawi. Selayang pandangan kisah perjalanan umat Allah ini, tidak mau menutup-nutup kekurangan-kekurangan di kalangan umat, karena justru melalui kelemahan-kelemahan ini keagungan Tuhan yang membimbing lika-liku sejarah nyata.

Syukur dan terima kasih kepada Tuhan untuk segala cobaan dan tantangan malalui “orang-orang Filistin yang adalah cambuk Tuhan” bagi umat. Karena yakin bahwa semua itu dimaksudkan hanya untuk membersihkan dan menguatkan setiap hati yang beriman katolik.

Melalui  pengalaman hidup pertumbuhan paroki, maka berkenaan dengan perayaan HUT ke-XXV (1953-1978) kepada seluruh umat yang telah menyusuri segala maju-mundurnya, Gereja mengajak :

“MARILAH KITA MEMBINA BERSAMA-SAMA WARISAN IMAN KITA”.

Semoga iman kita hidup, bertumbuh subur, berkembang dan menghasilkan perbuatan amal, sebagaimana terungkap dalam pantun :

“Noah u mese abit oe nanan
Na in nafatua ka nahin na ul es me
Na in nafau ka nahin man maputu es me”.

Artinya :
“kelapa bertumbuh di dekat air
Tidak peduli
Entah hujan, Entah panas,
Berbuah, Selau!”

Sambil menanti dan berlangkah maju meraih secercah harapan di hari depan, marilah kita mohon doa restu Maria Bunda Berdukacita, pelindung paroki Soe:

“Ingin aku rapat Dikau
Pada kaki  Salib Yesus
Tanggungan sabar susahku”.

Soe, tanggal 2 Februari 1978
Penyusun: V. Lechovic, SVD – P. Stefanus Mite, SVD


STASI SOE

Mengenai Perkembangan agama katolik di SoE sebagai pusat paroki, tentunya perlu diketahui terlebih dahulu tentang selayang pandang situasi geraja sebelum tahun 1953. Paroki SoE diresmikan tahun 1953 namun jauh sebelum tahun di atas, telah ada umat di wilayah SoE sebagai wilayah Protestan. Pada masa-masa awal, umat katolik SoE dilayani oleh pastor-pastor dari Atambua dan Timor Tengah Utara. Kemudian dilayani oleh pastor dari Kupang hingga tahun 1953, ketika stasi Soe mendapat pastornya sendiri.


I. Keadaan sebelum 1953

Soe, kota dingin, yang kini menjadi ibu kota kabupaten Timor Tengah Selatan sudah punya jalan aspal yang mulus serta gedung-gedung megah dan mentereng. Tapi dulu hanyalah kampung yang kecil dan sederhana. Pemerintah Belanda memilihnya sebagai pusat administratip dari ketiga swapraja (onderafdeling): Molo, Amanuban dan Amnatun. Pusat kehidupan sosial yang sebenarnya terletak di tiap ibu kota kerajaan, yaitu :  Fatumnutu (Molo), Niki-Niki (Amnuban), dan Nunkolo (Amnatun), sesuai fungsi dan kepentingan pemerintah Belanda. Di kampung Soe yang letaknya di dataran tinggi ini ditempatkan polisi-polisi pengawas keamanan. Di sini pula berdiri bangunan angker bernama bui di masa sekarang bernama “Lembaga Permasyarakatan” untuk mengurung orang-orang “Strapan” narapidana, atau orang jang berbuat salah dan berbuat jahat.

Dari sinilah muncul benih-benih iman katolik. Mereka yang diborgol dengan rantai besi, berada di penjara ini menjadi calon-calon penganut agama katolik. Mengapa demikian? Ada beberapa orang Flores di kampung halamannya membunuh orang atau memberontak terhadap pemerintah Belanda disingkirkan ke tempat ini. Mereka sudah mengenal agama katolik dari Flores. Setelah bebas dari hukuman penjara, mereka menetap, berumah tangga dan beranak-cucu di SoE. Salah satunya adalah bapa Gerardus Thius, penentang pemerintah Belanda di Mbay, Ngada/Flores yang diasingkan ke Soe pada tahun 1920. Kemudian bekerja sebagai tukang dan menetap di SoE. Ketujuh anak laki-lakinya menjadi landasan pertama untuk perkembangan umat  katolik SoE.

Bebarapa bekas KNIL juga menetap di SoE. Mereka beristerikan wanita-wanita Jawa. seperti: Yosef  Kono, Y. Bona Selan, Kornelis Ninung, H. Tutfaot, H. Hori. selain itu perantau-perantau seperti S. Soka, G. Nona, Yosef Raga, L. Lambo dan Petrus Laka memilih SoE daerah yang dikelilingi padang alang-alang sebagai tempat tinggal. Bapa Petrus Laka, yang bertogok pendek ramping kini masih hidup dan menjadi saksi hidup masa itu. Bapa kelahiran Jopu ini, sejak masa mudanya bekerja sebagai juru masak yang cukup handal di pasanggerahan pinggiran bukit kota SoE. Dari saksi hidup yang kini rambutnya sudah ubanan dan pada berguguran ini, dengan logat Lio-nya kita bisa mendapat kisah-kisah doeloe tentang Mgr. Pessers SVD. menurutnya, MGR. Pessers, SVD misionaris asal Belanda ini mengunjungi SoE mengendarai sepeda motor. Ia  menginap dan mempersembahkan misa di paanggerahan. Sesudah itu bapa Laka menjadi penghubung antara pastor dan umat. Kemudian pastor merayakan Ekaristi di rumah seorang Kepala Polisi Belanda, Van De Pool yang beragama katolik.

Kemudian datanglah P. Nik Van Ammers SVD kemudian menggantikan Mgr. Pessers berpatroli ke SoE. Tapi pastor yang bertugas di Noemuti ini tidak bisa bertahan lama, Ia Bosan Karena selalu mendengar tuntutan bapa Langkit seorang pensiunan polisi, dimana semulanya dengan sukarela (cuma-Cuma) menyerahkan tanah untuk gereja. Ditanahnya ini, kemudian didirikan gereja, setelah semuanya selesai, bapa Langkit menyesal lalu menuntut ganti rugi sebanyak Seribu Gulden Belanda. Karena persoalan itu maka P. V. Ammers, SVD tidak berkunjung lagi ke SoE. Lalu diganti oleh P. Theodor Van De Tilaart SVD yang bertugas Maubesi-TTU, saat itu Alfons Bere Talo, pegawai kepolisian sekaligus sebagai rasul awam mulai bergerak dalam bidang keagamaan sehingga tanda-tanda kehidupan iman mulai nampak ketika umat berkumpul dan berdoa bersama di rumahnya bapa Petrus Laka. Walau demikian, umat katolik minoritas di SoE tidak luput dari ejekan kaum mayoritas protestan: “Di mana Kambing-kambing itu mengembik?” sebagai kelompok minoritas mereka diam dan bersabar saja.

Pada tahun 1937 Mgr. Pessers ke Belanda. Di samping urusan-urusan lain ia mencari dana untuk pembanunan rumah ibadat di SoE. Ada kemujuran dengan mendapat bantuan. Dari mana? Dapat diketahui dari salah satu tulisan pada memo diarinya:

“Waktu di Belanda, saya mengunjungi rumah sakit di kota s’Hertogenbosch. Seorang ibu bernama “Boos”memanggil saya. Dulunya dia kawan sekolah ibuku. Walau hidupnya penuh kesulitan, tetapi ia memberikan 2000 gulden buat mendirikan sebuah gereja di misi. Pada waktu itu jumlah uang ini agak besar. Dan uang itu saya gunakan untuk gereja SoE.”

Pada tahun1938-1939 diperdirikan satu gereja permanen. Tempatnya amat strategis, karena di tengah-tengah kota. Br. Fransiskus dan Bruder Thomas sanggup menyelesaikan bangunan itu dalam waktu amat singkat. Sehingga semua orang heran.

Bagaimana kisah selanjutnya? Saat itu, Pastor-pastor yang datang melayani umat tidak melulu hanya merayakan kurban misa, mereka juga  mencari kader-kader katolik untuk hari depan. Beberapa anak dikirim untuk bersekolah di Halilulik dan Maubesi. Salah satunya adalah Martinus Boro yang diangkat menjadi guru agamamemimpin umat dalam ibadat Sabda saat tidak ada pastor. Gereja dan umat SoE tidak luput dari pencobaan, Usaha dan perkembangan iman tiba-tiba harus terhenti dengan kedatangan Nipon (tentara Jepang). Rumah gereja Katolik SoE dipakai sebagai tempat pembuat rokok kemudian Pesawat pembom Autralia membuang bom dekat gereja. Tembok-temboknya yang kokoh tidak roboh, hanya gentengnya jatuh berantakan.

Setelah selasainya perang, umat yang berlindung di hutan kembali ke kota SoE. Tugas pertama adalah memperbaiki gereja. Untungnya dibantu oleh kontroleur Willem Reyntjes, yang juga beragama katolik, Atap gereja yang rusak dan hancur ditutup dengan seng beraneka-ragam ukuran dan berlubang-lubang karena saat itu seng yang baik sukar di dapat. Atap Gereja SoE, saat itu dari seng hasil pungutan sisa-sisa seng barak-barak tentara Nipon di hutan-hutan.

Selanjutnya jumlah umat katolik mulai bertambah. Orang-orang dari kampung sekitar SoE bermunculan. Terlebih orang-orang asal Noemuti yang tetap mengenangkan “grei Noemuti sepe Noemuti”. Pada suatu kunjungan pastor, keluarga Selan dari Nule juga datang. Tapi seorang pensiunan KNIL menegur mereka sacara kasar: “kamu datang di sini dengan pakaian kotor. Keluar! ” kata-kata ini sangat menusuk hati dan perasaan mereka.  Seterusnya mereka tidak kunjung kembali.

Umat mendapat suatu pukulan hebat ketika guru agama Martinus Boro meninggal dengan tiba-tiba pada tanggal 8-1-1946. Lalu diganti oleh  Pemuda Laurens Sesfaot yang sebelum perang pernah menduduki bangku sekolah di Halilulik sebagai guru agama yang baru. Pemuda yang “diam-diam ubi berisi” ini mulai bekerja. Dengan wataknya yang alim-alim serta pergaulan akrabnya, atoni meto perlahan-lahan dihantar kepada Tuhan. Selam 30 tahun lebih tetap rajin bekerja untuk Tuhan. Sebagai tukang kayu dan pemimpin pertukangan SoE, hingga saat ini mengurus segala bangunan gereja yang kelihatan di seputar kota SoE.

Pada tahun 1947. Tepatnya tanggal 1 Agustus sekolah katolik pertama dibuka. Rumah belum ada. Gedung gereja dipakai sebagai rumah sekolah darurat. Jumlah murid 36 orang. Dari jumlah sekian terdapat 10 anak bukan katolik. Guru pertama ialah bapa Pareira dari Maubesi. Kemudian datang guru dari Belu, yaitu Paulus Teti dan Yohanes Lasi. Guru-guru ini tidak betah di Soe. Sukar sekali merasa at home di antara masyarakat katolik yang begitu kecil.

Bapak guru Yoh. Lasi punya hubungan yang baik dan akrab dengan masyarakat sekeliling Soe. Hanya sayangnya dia tidak dapat mengatur diri dalam hal minum sopi yang disuguhkan kenalan-kenalannya, terutama kawannya dari Benlutu, Zakarias Neon Tali. Pengaruh kurang baik bagi sekolah. Tapi siapa dapat menggantikannya? Tidak ada orang yang suka ke Soe. Rotan tiada akarpun berguna. Bagi guru-guru dan anak-anak sekolah dari Benlutu diperdirikan satu asrama.

Sejak tahun1949 SoE mulai dikunjungi oleh Pastor Yohanes Kersten SVD dari Kupang. Wilayah kerjanya sangat luas. Pulau Rote-Kupang-Amarasi dan TTS. Patut dicatat bahwa pastor kelahiran Belanda ini hampir setip bulan datang ke SoE.

SELENGKAPNYA DAPAT DIBACA PADA TAUTAN BERIKUT : KLIK DISINI

Loading...

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More